Sabtu, 28 Juni 2014

Ayat Ekonomi



AYAT EKONOMI
TENTANG RIBA
(RIBA dan POKOK HARTA)

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Ayat Ekonomi
Dosen Pengampu : Ali Amin Isfandiar, M.Ag.
Oleh :
Arina Zulfa Sa’ida
NIM. 2013113108

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
2014
AYAT EKONOMI
TENTANG RIBA
(RIBA dan POKOK HARTA)
QS. AL-BAQARAH (2) : 278-280

A.    Bunyi Ayat
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ   bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ   bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ  
B.     Terjemahan
278. Hai orang-orang yang beriman , bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
280. Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

C.    Tafsir Ayat
Dalam menguraikan ayat tersebut, penulis menggunakan tafsir ibn Katsir, tafsir Al-Mishbah, tafsir Imam Syafi’i.
Menurut tafsir Ibn Katsir, ayat itu merupakan peringatan keras dan ancaman yang tegas bagi orang yang masih melaksanakan praktik riba setelah diberi peringatan. Ibnu jurei berkata, “Ibnu Abbas berkata ihwal ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, yakni yakinlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu”, Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Hasan dan Ibnu Siri, keduanya berkata, “Sesungguhnya mereka yang suka menukar uang dengan uang merupakan pemakan riba dan telah dimaklumkan perang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika ada pemimpin yang adil, maka suruhlah bertobat. Jika mereka tidak mau, maka bunuhlah”. Qatadah berkata, “Allah mengancam mereka dengan perang sebagaimana yang mereka dengar. Dia menjadikannya sebagai tukang palsu uang ke mana pun mereka pergi. Hindarkanlah dirimu dari keterlibatan dengan jual beli riba seperti itu. Karena Allah telah meluaskan perkara halal dan menjadikannya baik. Maka jangan sekali-kali kamu terperosok ke dalam kemaksiatan kepada-Nya.[1]
Menurut tafsir Al-Mishbah :
Bertakwalah kepada Allah, yakni hindarilah siksa Allah, atau hindari jatuhnya sanksi dari Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha berat siksa-Nya. Menghindari hal itu, antara lain dengan menghindari praktek riba, bahkan meninggalkan sisa-sisanya.
Tinggalkan sisa riba, yakni yang belum dipungut. Ini jika kamu beriman. Penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman dalam diri seseorang. Jika seseorang melakukan praktek riba, maka itu bermakna ia tidak percaya kepada Allah dan janji-janji-Nya.[2]
Jika kamu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan ini, sehingga kamu memungut sisa riba yang belum kamu pungut, maka ketahuilah bahwa akan terjadi perang dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya. Kata dahsyat dipahami dari bentuk nakirah (indefinit) pada kata (بحر) harb.[3]
Jika kamu bertaubat, yakni tidak lagi melakukan transaksi riba, dan melaksanakan tuntunan Ilahi ini, tidak mengambil sisa riba yang belum diambil, maka perang tidak akan berlanjut, bahkan kamu boleh mengambil kembali pokok hartamu dari mereka. Dengan demikian kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh mereka karena mereka harus membayar penuh sebesar jumlah utang yang mereka terima.[4]
Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar hutangnya, maka tangguhkan penagihan sampai dia lapang. Yang menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran. Kelapangan dada dan kesabaran menunggu itulah yang dianugerahi ganjaran setiap saat oleh Allah sehingga pinjaman itu berlipat ganda. Yang lebih baik dari meminjamkan adalah menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu. Kalau demikian,  jika kamu mengetahui bahwa hal tersebut lebih baik, maka bergegaslah meringankan yang berhutang atau membebaskannya dari hutang.[5]
Menurut tafsir Imam Syafi’i, ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan riba yang telah diambil. Allah swt memerintahkan mereka untuk tidak mengambil riba yang belum berada di tangan mereka. Mereka hanya diminta untuk mengambil pokok hartanya saja. Rasulullah saw juga memaafkan uang riba yang sudah diterima kau muslimin. Nabi saw juga membatalkan segala bentuk transaksi yang mengandung riba berdasarkan hukum Islam, selama uang itu belum diterima.[6] Allah swt tidak mempersulit orang yang berhutang, kecuali mereka dalam kondisi kaya. Rasulullah swt tidak menganggap penundaan pelunasan hutang seseorang sebagai perbuatan zalim kecuali jika sedang kaya. Jika orang yang berutang sedang dalam keadaan susah, maka dia harus dipermudah.[7]
Dari ayat diatas dengan jelas dan tegas mengharamkan dari segala apapun riba, tidak membedakan macam dan bentuknya. Ayat ini merupakan proses akhir dari pengharaman secara mutlak dari sisi jenis, bentuk, dan waktu.[8]
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa bagi siapa saja yang mengabaikan larangan terhadap riba, berarti ia sudah “mengibarkan bendera perang” terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Pelarangan riba tersebut secara eksplisit disebutkan dalam 4 (empat) wahyu yang berbeda di dalam Al-Qur’an yaitu surah Al-Baqarah (2) : 275-281, surah Ali Imron (3) : 129-130, surah An-Nisa’ (4) : 161, dan surah Ar-Rum (30) : 39, yang kesemuanya mengekspresikan beberapa ide pokok berikut : meskipun tampaknya terdapat kesamaan antara keuntungan perdagangan dan keuntungan dari riba, namun hanya keuntungan dari hasil perdagangan saja yang diperbolehkan; ketika meminjam uang, seorang Muslim diminta untuk mengambilnya kembali sebatas modalnya saja, dan mengikhlaskannya jika debitur tidak mampu membayar; riba dapat menghapus keridhaan Allah SWT terhadap harta kekayaannya tersebut; riba dapat disamakan dengan mengambil kekayaan milik orang lain; Seorang Muslim selayaknya menjauhi riba demi kesejahteraan mereka.[9] Ayat ini juga menjelaskan bahwa Islam menutup pintu bagi siapa saja yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba.[10]

D.    Korelasi Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
Islam sebagai agama yang universal dan komprehensif, telah mengatur persoalan riba, baik melalui Al-Qur’an sebagai sumber utama maupun Al-hadits. Umat Islam dilarang mengambil riba apapun bentuknya, karena hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.[11]
Pembahasan mengenai masalah riba selalu dikaitkan dengan masalah bunga. Padahal sesungguhnya riba dapat timbul bukan saja pada transaksi hutang piutang yang karenanya sering muncul istilah bunga modal/pinjaman. Riba dapat terjadi pada transaksi jual beli maupun transaksi riil lainnya. Dalam perspektif agama selalu berbanding terbalik dengan moral.[12]
Persoalan riba sudah ada sejak zaman Nabi, bahkan sebelumnya. Perkembangannya dari waktu ke waktu terjadi modifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, pada dasarnya sama dan tetap dilarang. Pelarangan riba dalam Islam tidak saja dilihat dari perspektif ekonomi dan sosial. Misalnya dalam perspektif ekonomi, riba menimbulkan biaya tetap yang tinggi, sedangkan dalam perspektif sosial, riba menimbulkan ketergantungan baru.[13]
Secara umum disetujui bahwa pandangan Nabi Muhammad SAW terhadap riba mengalami perkembangan dari ‘peringatan’ terhadap riba pada periode Mekah menjadi bentuk ‘pelarangan’ terhadap riba pada periode Madinah.[14] Hadits secara spesifik mengklasifikasikan 2 (dua) jenis riba, yaitu : Riba Fadl, yang terjadi karena adanya penambahan yang tidak sah terhadap salah satu dari nilai imbangan; Riba Nasi’ah, yang terjadi karena penangguhan/penundaan penyelesaian pertukaran nilai-nilai imbangan. Para Ulama Islam pemula, mengklasifikasikan riba menjadi 3 (tiga) jenis, selain dari dua yang di atas, juga terdapat Riba al-jahiliyyah (riba pada masa pra-Islam), yang terjadi ketika kreditur memberikan batas waktu (jatuh tempo) kepada debitur dengan sebuah pilihan antara membayarnya sesuai dengan kesepakatan atau menggandakannya.[15]
Beberapa bentuk aplikasi riba di masa jahiliyyah. Bentuk pertama : Riba Pinjaman, yakni yang di refleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah. “ Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya”. Misalnya seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata, “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan”. Yakni, perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan ku bayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah, demikian seterusnya. Maka turunlah firman Allah yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat ganda .. “. Bentuk kedua : Pinjaman dengan pembayaran tertunda namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran. Bentuk ketiga : Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan (secara berkala).[16]
Rasulullah SAW melalui haditsnya juga banyak melarang praktik ribawi. Tindakan memakan/mengambil riba memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mekah saat itu. Sehingga dalam pidatonya yang terakhir tanggal 9 Zulhijjah tahun ke 10 Hijriyah Nabi menekankan pada pelarangan riba :
Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (pokok) adalah hak kamu, kamu tidak akan dirugikan/mengalami ketidakadilan.”[17]
Fenomena peminjaman yang bermuara riba pada masa Nabi dan sebelumnya menunjukkan bahwa orang miskin mengambil posisi sebagai peminjam dan orang kaya sebagai pemberi pinjaman. Namun, dewasa ini fenomena tersebut cenderung terbalik. Hutang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang berharta kepada bank untuk mengembangkan usaha mereka. Sedangkan orang miskin, nyaris tidak berhubungan dengan bank karena untuk mendapatkan kredit di bank diperlukan jaminan, sedangkan mereka tidak memilikinya, khususnya pada masyarakat Indonesia.[18]
Transaksi yang dilakukan di bank konvensional tentang adanya transaksi keuangan yang berhubungan dengan riba. Sehingga menyebabkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya yang berkaitan dengan pengharaman bunga bank/riba, yakni fatwa MUI no.1 tahun 2004 adalah sebagai berikut : Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, yaitu Riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. Praktek penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.[19]
Dari berbagai dasar Al-Qur’an dan Hadits tersebut jelaslah bahwa riba berapapun jumlahnya merupakan pekerjaan yang dilarang. Tahapan pelarangan ini semata-mata untuk menunjukkan bahwa Islam memiliki konsistensi hukum yang kuat dan upaya untuk mencapai kesempurnaan pelaksanaan kaidah agama dilakukan secara gradual. Oleh karenanya, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak meninggalkan riba.[20]
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya. Bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut “meskipun hatinya tidak rela” dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan manuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia melaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya :
Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhori)[21]
      
E.     Kesimpulan
Ayat ini dalam pandangan ekonomi kontemporer sangat berkaitan dengan fenomena perkembangan lembaga keuangan. Dari ayat diatas dengan jelas dan tegas mengharamkan dari segala apapun riba, tidak membedakan macam dan bentuknya. Ayat ini juga mempunyai beberapa ide pokok, salah satunya yakni meskipun tampaknya terdapat kesamaan antara keuntungan perdagangan dan keuntungan dari riba, namun hanya keuntungan dari hasil perdagangan saja yang diperbolehkan. Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia melaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya.


DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku
1.      M. Nasib AR-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir,  Jakarta : Gema Insani Press, 1999.
2.      M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
3.      Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, Jakarta : Almahira, 2008.
4.      Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-shawi, Bunga Bank Haram ?, Cet. 1, Jakarta : DAR Al-Muslim Riyadh KSA, 2003.
5.      Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Yogyakarta : UII Press, 2004.
6.      Ibrahim Warde, Islamic Finance “Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
B.     Internet


[1] M. Nasib AR-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 459
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 597
[3] Ibid,hlm. 598
[4] Ibid
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 599
[6] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i,(Jakarta : Almahira, 2008), hlm.493
[7] Ibid, hlm. 498
[8] Aidi Sugiarto, Fatwa MUI Tentang Bunga Bank “Studi Terhadap Pandangan Masyarakat Mlangi”, di http://digilib.uin-suka.ac.id/2484/1/BAB%20I,%20V.pdf (diunduh 01 Maret 2014)
[9] Ibrahim Warde, Islamic Finance “Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 123
[10] Bunga Bank dalam Islam”, di http://3kh4.wordpress.com/2013/11/09/bunga-bank-dalam-islam/ (diunduh 01 Maret 2014)
[11] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 33
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibrahim Warde, Islamic Finance “Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 123
[15] Ibid, hlm. 124
[16] Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-shawi, Bunga Bank Haram ?, Cet. 1, (Jakarta : DAR Al-Muslim Riyadh KSA, 2003), hlm. 6-8
[17] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 39
[19] Ibid
[20] Ibid, hlm. 41
[21] “ Bunga Bank dalam Islam”, di http://3kh4.wordpress.com/2013/11/09/bunga-bank-dalam-islam/ (diunduh 01 Maret 2014)

1 komentar:

  1. Tajam di awal, tumpul di akhir. Kalau saja Rasulullah SAW membaca skripsi ini, apa tanggapan beliau ya?

    BalasHapus