AYAT EKONOMI
TENTANG RIBA
(RIBA dan POKOK HARTA)
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada
Mata Kuliah Ayat Ekonomi
Dosen
Pengampu : Ali Amin Isfandiar, M.Ag.
Oleh
:
Arina
Zulfa Sa’ida
NIM.
2013113108
PROGRAM STUDI EKONOMI
SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
2014
AYAT EKONOMI
TENTANG RIBA
(RIBA dan POKOK HARTA)
QS. AL-BAQARAH (2) :
278-280
A.
Bunyi
Ayat
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ
B.
Terjemahan
278.
Hai orang-orang yang beriman , bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.
280. Dan
jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.
C.
Tafsir
Ayat
Dalam menguraikan ayat tersebut, penulis
menggunakan tafsir ibn Katsir, tafsir Al-Mishbah, tafsir Imam Syafi’i.
Menurut tafsir Ibn Katsir, ayat itu
merupakan peringatan keras dan ancaman yang tegas bagi orang yang masih
melaksanakan praktik riba setelah diberi peringatan. Ibnu jurei berkata, “Ibnu
Abbas berkata ihwal ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu,
yakni yakinlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu”, Ibnu Abi Hatim
mengatakan dari Hasan dan Ibnu Siri, keduanya berkata, “Sesungguhnya mereka
yang suka menukar uang dengan uang merupakan pemakan riba dan telah dimaklumkan
perang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika ada pemimpin yang adil, maka suruhlah
bertobat. Jika mereka tidak mau, maka bunuhlah”. Qatadah berkata, “Allah
mengancam mereka dengan perang sebagaimana yang mereka dengar. Dia
menjadikannya sebagai tukang palsu uang ke mana pun mereka pergi. Hindarkanlah
dirimu dari keterlibatan dengan jual beli riba seperti itu. Karena Allah telah
meluaskan perkara halal dan menjadikannya baik. Maka jangan sekali-kali kamu
terperosok ke dalam kemaksiatan kepada-Nya.[1]
Menurut tafsir Al-Mishbah :
Bertakwalah
kepada Allah, yakni hindarilah siksa Allah, atau
hindari jatuhnya sanksi dari Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha berat
siksa-Nya. Menghindari hal itu, antara lain dengan menghindari praktek riba,
bahkan meninggalkan sisa-sisanya.
Tinggalkan
sisa riba, yakni yang belum dipungut. Ini jika kamu
beriman. Penutup ayat ini mengisyaratkan bahwa riba tidak menyatu dengan iman
dalam diri seseorang. Jika seseorang melakukan praktek riba, maka itu bermakna
ia tidak percaya kepada Allah dan janji-janji-Nya.[2]
Jika
kamu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan
ini, sehingga kamu memungut sisa riba yang belum kamu pungut, maka ketahuilah bahwa akan terjadi perang
dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya. Kata
dahsyat dipahami dari bentuk nakirah (indefinit) pada kata (بحر) harb.[3]
Jika
kamu bertaubat, yakni tidak lagi melakukan
transaksi riba, dan melaksanakan tuntunan Ilahi ini, tidak mengambil sisa riba
yang belum diambil, maka perang tidak akan berlanjut, bahkan kamu boleh
mengambil kembali pokok hartamu dari
mereka. Dengan demikian kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh
mereka karena mereka harus membayar penuh sebesar jumlah utang yang mereka
terima.[4]
Apabila ada seseorang
yang berada dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila
membayar hutangnya, maka tangguhkan penagihan sampai dia lapang. Yang
menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia
menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah
memberinya ganjaran. Kelapangan dada dan kesabaran menunggu itulah yang
dianugerahi ganjaran setiap saat oleh Allah sehingga pinjaman itu berlipat
ganda. Yang lebih baik dari meminjamkan adalah menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu. Kalau demikian, jika
kamu mengetahui bahwa hal tersebut lebih baik, maka bergegaslah meringankan
yang berhutang atau membebaskannya dari hutang.[5]
Menurut
tafsir Imam Syafi’i, ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt tidak memerintahkan
mereka untuk mengembalikan riba yang telah diambil. Allah swt memerintahkan
mereka untuk tidak mengambil riba yang belum berada di tangan mereka. Mereka
hanya diminta untuk mengambil pokok hartanya saja. Rasulullah saw juga
memaafkan uang riba yang sudah diterima kau muslimin. Nabi saw juga membatalkan
segala bentuk transaksi yang mengandung riba berdasarkan hukum Islam, selama
uang itu belum diterima.[6]
Allah swt tidak mempersulit orang yang berhutang, kecuali mereka dalam kondisi
kaya. Rasulullah swt tidak menganggap penundaan pelunasan hutang seseorang
sebagai perbuatan zalim kecuali jika sedang kaya. Jika orang yang berutang
sedang dalam keadaan susah, maka dia harus dipermudah.[7]
Dari ayat diatas dengan jelas dan tegas
mengharamkan dari segala apapun riba, tidak membedakan macam dan bentuknya.
Ayat ini merupakan proses akhir dari pengharaman secara mutlak dari sisi jenis,
bentuk, dan waktu.[8]
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa bagi
siapa saja yang mengabaikan larangan terhadap riba, berarti ia sudah
“mengibarkan bendera perang” terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. Pelarangan riba
tersebut secara eksplisit disebutkan dalam 4 (empat) wahyu yang berbeda di dalam
Al-Qur’an yaitu surah Al-Baqarah (2) : 275-281, surah Ali Imron (3) : 129-130,
surah An-Nisa’ (4) : 161, dan surah Ar-Rum (30) : 39, yang kesemuanya
mengekspresikan beberapa ide pokok berikut : meskipun tampaknya terdapat
kesamaan antara keuntungan perdagangan dan keuntungan dari riba, namun hanya
keuntungan dari hasil perdagangan saja yang diperbolehkan; ketika meminjam
uang, seorang Muslim diminta untuk mengambilnya kembali sebatas modalnya saja,
dan mengikhlaskannya jika debitur tidak mampu membayar; riba dapat menghapus
keridhaan Allah SWT terhadap harta kekayaannya tersebut; riba dapat disamakan
dengan mengambil kekayaan milik orang lain; Seorang Muslim selayaknya menjauhi
riba demi kesejahteraan mereka.[9]
Ayat ini juga menjelaskan bahwa Islam menutup pintu bagi siapa saja yang
berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba.[10]
D.
Korelasi
Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
Islam sebagai agama yang universal dan
komprehensif, telah mengatur persoalan riba, baik melalui Al-Qur’an sebagai
sumber utama maupun Al-hadits. Umat Islam dilarang mengambil riba apapun
bentuknya, karena hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.[11]
Pembahasan mengenai masalah riba selalu
dikaitkan dengan masalah bunga. Padahal sesungguhnya riba dapat timbul bukan
saja pada transaksi hutang piutang yang karenanya sering muncul istilah bunga
modal/pinjaman. Riba dapat terjadi pada transaksi jual beli maupun transaksi
riil lainnya. Dalam perspektif agama selalu berbanding terbalik dengan moral.[12]
Persoalan riba sudah ada sejak zaman Nabi, bahkan sebelumnya. Perkembangannya
dari waktu ke waktu terjadi modifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Namun,
pada dasarnya sama dan tetap dilarang. Pelarangan riba dalam Islam tidak saja
dilihat dari perspektif ekonomi dan sosial. Misalnya dalam perspektif ekonomi, riba menimbulkan biaya tetap yang
tinggi, sedangkan dalam perspektif sosial, riba
menimbulkan ketergantungan baru.[13]
Secara umum disetujui bahwa pandangan
Nabi Muhammad SAW terhadap riba mengalami perkembangan dari ‘peringatan’
terhadap riba pada periode Mekah menjadi bentuk ‘pelarangan’ terhadap riba pada
periode Madinah.[14]
Hadits secara spesifik mengklasifikasikan 2 (dua) jenis riba, yaitu : Riba Fadl, yang terjadi karena adanya
penambahan yang tidak sah terhadap salah satu dari nilai imbangan; Riba Nasi’ah, yang terjadi karena
penangguhan/penundaan penyelesaian pertukaran nilai-nilai imbangan. Para Ulama
Islam pemula, mengklasifikasikan riba menjadi 3 (tiga) jenis, selain dari dua
yang di atas, juga terdapat Riba
al-jahiliyyah (riba pada masa pra-Islam), yang terjadi ketika kreditur
memberikan batas waktu (jatuh tempo) kepada debitur dengan sebuah pilihan
antara membayarnya sesuai dengan kesepakatan atau menggandakannya.[15]
Beberapa bentuk aplikasi riba di masa
jahiliyyah. Bentuk pertama : Riba
Pinjaman, yakni yang di refleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah. “ Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya”.
Misalnya seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu
pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia
berkata, “Tangguhkanlah hutangku, aku
akan memberikan tambahan”. Yakni, perlambatlah dan tangguhkanlah masa
pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan ku bayar. Penambahan
itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan
penambahan umur binatang kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti
unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa
barang atau uang, jumlahnya yang ditambah, demikian seterusnya. Maka turunlah
firman Allah yang artinya “ Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat
ganda .. “. Bentuk kedua :
Pinjaman dengan pembayaran tertunda namun dengan syarat harus dibayar dengan
bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran. Bentuk ketiga : Pinjaman berjangka dan
berbunga dengan syarat dibayar perbulan (secara berkala).[16]
Rasulullah SAW melalui haditsnya juga
banyak melarang praktik ribawi. Tindakan memakan/mengambil riba memang sudah
menjadi kebiasaan masyarakat Mekah saat itu. Sehingga dalam pidatonya yang
terakhir tanggal 9 Zulhijjah tahun ke 10 Hijriyah Nabi menekankan pada
pelarangan riba :
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu
hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (pokok) adalah hak kamu, kamu tidak
akan dirugikan/mengalami ketidakadilan.”[17]
Fenomena peminjaman yang bermuara riba pada masa Nabi dan sebelumnya
menunjukkan bahwa orang miskin mengambil posisi sebagai peminjam dan orang kaya
sebagai pemberi pinjaman. Namun, dewasa ini fenomena tersebut cenderung
terbalik. Hutang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang berharta kepada bank
untuk mengembangkan usaha mereka. Sedangkan orang miskin, nyaris tidak
berhubungan dengan bank karena untuk mendapatkan kredit di bank diperlukan
jaminan, sedangkan mereka tidak memilikinya, khususnya pada masyarakat
Indonesia.[18]
Transaksi yang dilakukan di bank konvensional
tentang adanya transaksi keuangan yang berhubungan dengan riba. Sehingga menyebabkan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwanya yang berkaitan dengan pengharaman bunga bank/riba, yakni
fatwa MUI no.1 tahun 2004 adalah sebagai berikut : Praktek pembungaan uang saat
ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, yaitu
Riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu
bentuk riba, dan riba haram hukumnya. Praktek penggunaan tersebut hukumnya
adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal,
Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh
individu.[19]
Dari berbagai dasar Al-Qur’an dan Hadits
tersebut jelaslah bahwa riba berapapun jumlahnya merupakan pekerjaan yang
dilarang. Tahapan pelarangan ini semata-mata untuk menunjukkan bahwa Islam
memiliki konsistensi hukum yang kuat dan upaya untuk mencapai kesempurnaan
pelaksanaan kaidah agama dilakukan secara gradual. Oleh karenanya, tidak ada
alasan lagi bagi kita untuk tidak meninggalkan riba.[20]
Terlepas dari semua itu, perlu juga
diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan
tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan
perpialangan, penitipan, dan sebagainya. Bahkan sedikit pekerjaan di sana yang
termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima
pekerjaan tersebut “meskipun hatinya tidak rela” dengan harapan tata
perekonomian akan mengalami perubahan manuju kondisi yang diridhai agama dan
hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia melaksanakan tugasnya dengan
baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta
umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya :
“Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan”. (HR.
Bukhori)[21]
E.
Kesimpulan
Ayat ini dalam pandangan ekonomi
kontemporer sangat berkaitan dengan fenomena perkembangan lembaga keuangan.
Dari ayat diatas dengan jelas dan tegas mengharamkan dari segala apapun riba,
tidak membedakan macam dan bentuknya. Ayat ini juga mempunyai beberapa ide
pokok, salah satunya yakni meskipun tampaknya terdapat kesamaan antara
keuntungan perdagangan dan keuntungan dari riba, namun hanya keuntungan dari
hasil perdagangan saja yang diperbolehkan. Terlepas dari semua itu, perlu juga
diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan
tergolong riba. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia melaksanakan tugasnya
dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya
beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
1. M.
Nasib AR-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn
Katsir, Jakarta : Gema Insani Press,
1999.
2. M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
3. Syaikh
Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam
Syafi’i, Jakarta : Almahira, 2008.
4. Abdullah
Al-Mushlih dan Shalah Ash-shawi, Bunga
Bank Haram ?, Cet. 1, Jakarta : DAR Al-Muslim Riyadh KSA, 2003.
5. Muhammad
Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil
(BMT), Yogyakarta : UII Press, 2004.
6. Ibrahim
Warde, Islamic Finance “Keuangan Islam
Dalam Perekonomian Global”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
B.
Internet
2. http://mugiyatisupel.wordpress.com/2012/12/25/interpretasi-riba-dan-hubungannya-dengan-bunga-bank/
[2] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 597
[5] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 599
[8] Aidi
Sugiarto, Fatwa MUI Tentang Bunga Bank
“Studi Terhadap Pandangan Masyarakat Mlangi”, di http://digilib.uin-suka.ac.id/2484/1/BAB%20I,%20V.pdf (diunduh 01 Maret 2014)
[9] Ibrahim
Warde, Islamic Finance “Keuangan Islam
Dalam Perekonomian Global”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 123
[10] “Bunga Bank dalam Islam”, di http://3kh4.wordpress.com/2013/11/09/bunga-bank-dalam-islam/
(diunduh 01
Maret 2014)
[11] Muhammad
Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil
(BMT), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 33
[14] Ibrahim
Warde, Islamic Finance “Keuangan Islam
Dalam Perekonomian Global”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 123
[16] Abdullah
Al-Mushlih dan Shalah Ash-shawi, Bunga
Bank Haram ?, Cet. 1, (Jakarta : DAR Al-Muslim Riyadh KSA, 2003), hlm. 6-8
[17] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT),
(Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm.
39
[18] “Bunga Bank vs Riba”, di http://mugiyatisupel.wordpress.com/2012/12/25/interpretasi-riba-dan-hubungannya-dengan-bunga-bank/ (diunduh 01 Maret 2014)
[21] “
Bunga Bank dalam Islam”, di http://3kh4.wordpress.com/2013/11/09/bunga-bank-dalam-islam/
(diunduh 01 Maret 2014)
Tajam di awal, tumpul di akhir. Kalau saja Rasulullah SAW membaca skripsi ini, apa tanggapan beliau ya?
BalasHapus